lika-liku raskin (tapi bukan tentang berasnya) – bagian satu

[disclaimer : this post will be written in indonesian because apparently it’s way funnier, sillier, and traumatizingly stupid that way]

jadi terbilanglah suatu ketika saya berkesempatan untuk mengunjungi wilayah-wilayah miskin jakarta dalam rangka suatu pekerjaan yang lebih afdolnya tidak perlu dibahas – untuk saat ini. bersama kurang lebih belasan rekan lain dari berbagai jurusan dan universitas terkemuka lain *tsah* (yang di balik penampilan dan cv-nya ternyata otak-otaknya entah kegeser atau pernah kegesruk semua), tiap malam kami menginap di kamar hotel ber-AC, lengkap dengan complimentary breakfast dan housekeeping department yang bisa dipanggil untuk mengganti seprai yang ketumpahan kuah sop sesekali, sementara pada kebanyakan siang kami berkelana ke pelosok-pelosok jakarta yang jarang dilihat orang pada umumnya. yang minim penerangan, sanitasi, dan pengharum ruangan beraroma buah-buahan yang bisa dibeli di indomaret seharga dua puluh ribu.

terlepas dari hal-hal lainnya, termasuk yang buruk-buruk, bagian terbaik dari pekerjaan ini ternyata adalah orang-orang kami temui selama kurang lebih tiga minggu tersebut. barangkali agak terkutuk ya kalau disebut ‘menertawakan’ orang susah. tapi percayalah, ketika situasi yang ditemui tidak sesuai harapan, ketika dirundung kesulitan dan keterpurukan, menertawakan diri sendiri dan situasi justru kadang menjadi obat yang lumayan mujarab untuk melegakan hati. dan sodara-sodara sebangsa dan setanah air, bukan salah beta kalau akhirnya jadi ingin tertawa ketika berbicara dengan ibu-ibu dan bapak-bapak yang sehari-hari berjuang untuk bertahan hidup di jakarta itu saat mereka memang mengeluarkan pernyataan-pernyataan atau pertanyaan yang susah ditanggapi dengan muka lempeng bin biasa aja. hampir setiap hari, ketika kami kembali ke hotel, ada saja cerita-cerita busuk yang bikin sakit perut karena tertawa yang layak untuk dibagikan kepada teman-teman.

entah harus sedih atau bahagia.

dan pada postingan kali ini, saya akan menceritakan beberapa hal yang entah lucu atau apes yang saya alami selama durasi waktu tersebut. pada beberapa bagian mungkin agak dilebih-lebihkan untuk efek dramatis, tetapi percayalah tidak mengurangi keabsahannya. apalagi sebenarnya cerita-cerita ini ada banyak sekali. tetapi karena memori penulis yang terbatas – jika tidak percaya boleh cek nilai-nilai ujian penulis, maka mungkin yang ditampilkan tidak seberapa.

pertama, entah karena kutukan apa, setelah pada penelitian yang lalu saya mau dijodohkan oleh bapak juragan warung di denpasar, yang dengan muka sok iyeh-nya menunjuk saya sambil bilang ‘kamu pasti jenius!’, dengan anaknya yang kata sang bapak – yang tentu saja bertanggung jawab akan sebagian genetik anaknya tersebut – ganteng, kali ini saya juga ketemuuu aja dengan bapak-ibu khilaf yang mau menjodohkan saya dengan anak-anaknya. diawali dengan bapak-bapak sok iyeh di cilincing yang niat banget ngikutin saya jalan-jalan di gang, dan dengan gak tau malu mengundang saya ke rumahnya untuk ‘ketemu anak saya yang ganteng‘, saya juga ketemu dengan ibu rt di semper barat yang juga dengan sok taunya nuduh saya ‘mbak pasti belum nikah, kan?‘ di tengah-tengah sesi tanya jawab. meskipun tuduhannya benar *ehem*, tentu saja topik yang tiba-tiba bergeser dari ‘sertifikat rumah’ ke pembinaan hubungan keluarga lebih lanjut cukup bikin runyem perasaan. dan tentu saja, lagi-lagi diiringi dengan klaim sepihak dari ibu rt bahwa anaknya adalah lelaki ganteng yang sudah bekerja di perusahaan swasta dan tawaran untuk ‘kenalan’. ketiga kalinya saya hampir mau dijodohkan adalah di penjaringan. detailnya saya malas untuk cerita karena kalau diingat selalu menimbulkan dorongan untuk memuntahkan kembali makan siang kemarin. tapi yang jelas semenjak saat itu saya mulai merefleksikan lagi hidup saya.

kalau kata si chitra, alias tapekong, salah satu rekan saya, mungkin muka saya tipe-tipe yang bisa ‘diajak susah’. entah apa maksud dibalik udang tersebut, yang jelas hati saya menjadi tidak tenang.

tentu saja tawaran untuk kenalan dengan anak-anak bapak-ibu yang dibilang ganteng itu saya tidak ladeni. meskipun ibu rt semper sempat ngasih nomor handphonenya – entah buat apa, saya cuma mau kasih tau sesuatu untuk bapak-bapak dan ibu-ibu yang baik hati tapi bikin senewen ini; bapak, ibu, kalau makannya aja masih RASKIN, gak usah sok-sokan deh ngejodoh-jodohin anak orang! sekian. terima kasih.

walaupun tragedi ini terjadi, saya cukup beruntung karena tidak sampai dikasih batu berlian segala kayak si chitra – yang ada kemungkinan bakal ‘terpanggil’ balik ke cilincing, atau ditta yang hampir diarak preman-preman semper keliling kampung.

ngomong-ngomong soal sanitasi, memang rata-rata kampung kota yang kami kunjungi tidak punya sanitasi yang memadai. bukan hanya wc yang terpisah dari rumah, tapi keadaannya yang agak memprihatinkan dan air bersih yang kurang. nggak usah kaget kalau tiba-tiba ngeliat anak-anak kutil jongkok di pinggir jalan, di atas saluran air yang airnya udah nggak mengalir lagi saking mampetnya, untuk eek alias buang air besar. bahkan suatu hari saya pernah sedang menunggu orang di pinggir gang, dan melihat seorang ibu nemenin anaknya eek dan dengan semangat berkata ‘ayo. udah belom? ayo keluarin! keluarin!‘ sambil megangin pampers. ibu teladan 2014, sodara-sodara.

tapi tentu saja kalau anak-anak kutil yang eek di solokan saya masih bisa nyantai ngeliatnya. tetapi suatu hari, saat ngobrol-ngobrol dengan ibu-ibu yang punya warung sosis di pinggir jalan, si ibu tiba-tiba membuat pengakuan yang luar biasa. “jadi kan saya gak punya wc, dek. sementara wcnya jauh di sini. jadi kalo malem-malem saya kebelet ya udah saya jongkok aja tuh di situ *sambil nunjuk solokan cuma beberapa langkah dari tempat saya duduk persis di pinggir jalan besar*. biarin deh diliat orang juga. anak saya suruh jaga, saya pipis.” dan kemudian saya ditawarin sosis.

sesungguhnya, keadaan ini mungkin cukup umum terjadi di lingkungan tersebut. dan di lubuk hati saya yang terdalam, saya mendoakan semoga ibu ini diberikan BLT yang banyak aja, karena katanya kalau dapat uang BLT yang turunnya sekaligus dia mau buat wc sendiri. AMIN, BU. AMIN!

sesungguhnya, selama ini saya cukup kagum juga dengan diri saya sendiri, karena meskipun seringkali kami harus jalan-jalan sendiri masuk-masuk ke daerah yang saking rapatnya rumah-rumahnya, jalannya harus sambil miring-miring karena gangnya cuma bisa dilewatin model ber-size 0, saya nggak pernah kesasar-kesasar amat (palingan kejedug kaleng kerupuk yang ngegantung di warung karena lupa nunduk saking pendeknya itu rumah). selain itu, saya juga kagum sama mas-mas tukang pos atau kurir jne kalau selalu berhasil menemukan alamat orang di lingkungan tersebut. karena biasanya rumah-rumah tersebut tidak punya nomor, bahkan nama gang juga terkadang tidak jelas. yang bisa diandalkan cuma tetangga-tetangga yang sukur-sukur kenal atau pak/ibu rt (kalau pak/ibu rt-nya gak dibenci warga karena nimbun raskin itu juga) dan berdoa semoga orang yang dituju nggak punya nama yang pasaran – semisal rodiah atau romlah. karena rodiah aja biasanya ada macem-macem. dari rodiah ‘rodiah’ sampe rodiah ‘uuy’. belum lagi ibu-ibu yang suka menciptakan sendiri nama panggungnya. di KTP : NYI ENGKAI, ngakunya : KARTINI. nah loh.

dan gak usah mengandalkan tetangga kalau belahan jiwa sendiri aja lupa nama soulmate-nya, seperti yang dialami temen saya si tapekong. jadi ceritanya si tapekong sedang mencari seorang bapak-bapak bernama terong [bukan nama sebenarnya] di rt xx. melihat ada ibu-ibu sedang duduk, ia pun bertanya dengan ramah dan sopan kepada ibu-ibu tersebut ‘bu, tau yang namanya pak terong?’. setelah berpikir cukup lama, ibu itu pun menjawab,’nggak tau, dek‘. tapekong pun pergi dan bertanya pada ibu-ibu lain tak jauh dari situ. ternyata eh ternyata, ibu-ibu itu bilang bahwa ibu yang sebelumnya pekong tanyai adalah istri si pak terong. pekong pun kesel, dan ketika ditanya lagi, plus ibu-ibu yang barusan, diketahuilah ternyata eh ternyata ibu itu LUPA nama suaminya, saudara-saudara. dan mengutip kata-kata pekong, kalo lupa nama anak sendiri masih wajar lah ya, ini nama laki yang tiap malem bobo-bobo bareng aja lupa! astagfirullah.

nama memang sesuatu yang complicated. terutama di era di mana punya nama yang ‘indonesia’ banget kadang kurang kece karena cepet ketauan asalnya dari tegal atau banyumas, sementara kalau di sinetron kan nama tokohnya biasanya bagus dan kebarat-baratan. maka dari itu di kelurahan-kelurahan paling amit sejakarta juga orang-orangnya berusaha mendoakan agar nasib anak-anaknya bisa lebih baik dari bapak ibunya yang sehari-hari mulung gelas aqua atau cuci gosok dengan memberi nama yang aduhay karena nama adalah doa.

misalnya saja di satu keluarga yang tinggal di rumah kontrakan ukuran 4 x 5 meter dengan lebih dari lima anggota keluarga, ada siti maemunah, rohayat, ani, ules, dan RAQUELLA. itu juga Q dan double L-nya saya simpulkan sendiri karena nggak tega kalau nulisnya harus RAKUELA. ngana pikir?!

hasrat kebarat-baratan ini juga kadang menimbulkan ke-awkward-an, karena dalam salah satu tanya jawab, saya menemukan seorang ibu yang dengan mantep menyebut nama anaknya sebagai ‘david’. tapi ketika saya tulis ‘david’ dia protes. “pake ‘t’, dek. davit.” YAELAH.

tapi setidaknya itu lebih baik dari penemuan rekan lain, si emeli, yang menemukan anak malang yang diberi nama KRISMON oleh bapak ibunya yang baik dan bijaksana. yang tentu saja mengundang hasrat ngorek kuping ketika mendengar pertama kali dan dengan hitungan matematis sederhana dapat dikonfirmasi bahwa anak itu emang lahir tahun 1998.  bila nama adalah doa, sesungguhnya kami BINGUNG doa apa yang bapak ibunya ini ingin panjatkan dengan nama tersebut.

tapi biarlah doa-doa itu terpanjatkan apa adanya. yang menjadi sasaran kekaguman saya selanjutnya adalah ketua-ketua rt yang hafal betul warganya, bahkan juga hafal warga rt tetangganya (‘zamhari di sini ada dua, dek. zamhari A yang jompo. zamhari B yang tukang sampah‘). biasanya ketua rt seperti itu adalah yang udah jadi rt jutaan periode. entah karena memang disukai warga, paling tua di situ, atau karena politik kampung. ketua rt bisa dicintai atau dibenci. biasanya kategori yang kedua itu karena ketua rtnya suka menyalurkan BLT atau RASKIN kepada yang ‘tidak layak‘ atau sekedar disirikin karena yang gak kebagian BLT atau RASKIN adalah warga pendatang ngehe yang kartu keluarga atau KTP jakarta aja gak punya tapi minta ini-itunya ampun deh.

tetapi sekali lagi saya tetap menghargai ketua-ketua rt yang mau menemani kami keliling kampung di siang hari yang panas, menunjukkan warga-warganya yang paling ‘tidak mampu’ menurut standar pak/ibu rt. karena ternyata oh ternyata ada warga ‘tidak mampu’ yang rekening listriknya satu koma dua juta sebulan. entah ngana mafia listrik atau saya yang budek kurang yakin juga deh. meskipun selain dibantuin, kadang saya juga kena ceramah soal BLT dan RASKIN. dengan berapi-api biasanya ketua-ketua rt ini curhat mengenai jatuhnya kedua jenis bantuan tersebut yang kurang tepat sasaran (biasanya karena ‘ulah’ ketua rt sebelumnya) dan dengan semangat membela janda-janda di wilayahnya, terutama janda tua. ditambah pesan supaya saya menyampaikan unek-unek mereka tersebut kepada ‘pemerintah’ yang biasanya saya tanggapi dengan senyum manis ajah karena sejauh ini the closest i’ve been with the government is ketika saya apel tiap pagi dengan kepala BAPPEDA. itu juga di jawa barat.

tapi kalau ada orang lain yang sangat bisa diandalkan bahkan pada beberapa kasus jauh bisa lebih diandalkan dari pak rt, itu adalah IBU-IBU PKK. berbekal semangat ’45, menyandang gelar ‘KADER’, dengan antusias mereka mengantar kami keliling kampung dengan pengetahuan yang luar biasa akan warga-warga di lingkungannya, bahkan marah-marahin mereka juga. kalau warganya kebetulan jompo dan pelupa, mereka yang akan dengan senang hati mengingatkan dengan gayanya yang KADER abis (‘alhamdullilah yah bu di sini mah sudah BERSIH demam berdarah!’). bahkan mungkin mereka lebih hapal merek tivi dan setrika warga-warganya dibandingkan warganya sendiri.

tapi memang sejauh ini, ibu-ibu pkk yang paling sigap yang kami temui adalah ibu-ibu pkk kelurahan jatinegara. konon katanya, di pagi hari kedatangan kami, ibu-ibu kader tersebut semuanya udah berbaris manis rapi jali di depan kantor rw untuk menyambut kami (lengkap dengan baju batik dan rambut yang mungkin udah di-hersprei). oh mama oh papa, kami dikira ROMBONGAN PRESIDEN! yailaaah, mentang-mentang kerjaan kami juga ada di bawah salah satu unit kerja presiden, dikiranya pak beye juga ikutan dateng. untung aja ibu-ibu itu tidak terlampau larut pada kekecewaan karena yang turun dari mobil cuma anak-anak coro yang salah satunya lebih mirip sales kompor gas dan tetep bersedia mengantar kami keliling-keliling.

[bersambung]

2 pemikiran pada “lika-liku raskin (tapi bukan tentang berasnya) – bagian satu

Tinggalkan komentar