how not to get drunk

it’s been sometime since the last time i posted something here. i wanted to say that i was busy – perhaps working with the president of zimbabwe, but the thing is procrastination got the best of me. what used to be “one hour later” turned to “one week later” and suddenly we’re in 2016. awesome.

my life is still pretty okay with a hint of weirdness here and there. i finally graduated, dreamed of being a grand researcher of the future before life crushed me and told me that i’m just an unemployed kid who somehow now can pay her own rent. my private life, like usual, is still somewhat mysterious except to my two best confidantes (read: people who know what’s messed up in my life) while i pretend to live by dalai lama’s quotes.

so now, to celebrate my comeback to this blog, i would like to speak about “how not to get drunk (and ways to get drunk if you can’t help it)”. i won’t say that this is important, but if you happen to visit a bar that sells tequila 17K a shot; my advice would be: just DON’T.

like i have said before somewhere in this blog, i usually only drink beers. bintang being my favorite, nowadays i love chilled san miguel light with a slice of lime. it goes well with snacks and makes conversation better.

aaaanyways… i don’t mind hard liquor once in a while. especially if your friend had a bottle of Finlandia vodka as a gift and you think it’s way better than Absolut. one thing to understand though; i don’t usually buy hard liquor in bars. first thing first, they’re hella expensive. and not everyone is willing to give free coke as chaser (except if the bartender is trying to get your number or something. trust me, i’ve been there.). plus, hard liquor makes you drunk fast. real fast if you’re a lightweight and stupid. and unless you want to be annoying the whole night, getting drunk is not the way to go in public places.

my first encounter with tequila happened in a bar in bali. i, broke as usual, only bought beers while waiting for the right time to dance because the blokes kept flooding the floor. aaaand suddenly, some dude handed a shot glass to me while saying “it’s from my friend”. then i looked at my friends and wise as she was, one of my friends said that i could refuse the drink if i didn’t want it.

BUT WHY WOULD I DO THAT RIGHT??

honestly, i didn’t know what’s inside that glass. it looked clear, a bit like pee under the disco balls, but not whiskey. all i know is that whatever is was, it must be expensive. 90K-for-gin-and-tonic expensive. or 120K-for-long-island-expensive. now, if i was alone, this scenario would not exist in any way because… it’s impossible for me to go to a bar ALONE in this country, and, i’m too paranoid to drink or eat whatever some sketchy guys hand me.

but i was with my friends, and second worst scenario was that if somebody had added roofies in it, i would just collapse and force my buddies to drag my unconscious ass home (the ultimate worst scenario was that the drink was poisoned and i would instantly R.I.P). so why would i send the drink back, right?? might as well enjoy the free drink.

so i sniffed the drink, let my friend sniff it too, decided that it was tequila, and downed it. i forgot how it tasted like, except that it tasted like free stuff. i was grateful and continued enjoying my time until it’s 2 AM and time to go home.

frankly, i only drank two small bottle of beers and that one shot of tequila. but boy, i felt like a tipsy idiot already when we got out of the bar. shit got into my brain so fast i couldn’t walk straight. let’s just say at that moment i knew tequila and me had a very bad fengshui.

but lesson is better learnt the hard way, they say. and disaster came to me when a friend of mine called me one evening saying that there’s this bar having a happy hour and sold tequila for 17K a shot. so we decided to gather our friends up and headed there to have fun.

i usually have a strict policy of moderate drinking, but we ordered foods and laughed a lot, and suddenly there were three shots of tequila for each person on our table that night. we ate and laughed and played pool. i ordered beer. we made lame jokes. and we moved to the bar area and the bartender gave us each an extra shot of tequilla. everything happened so fast but i felt fine. one of our friends had been tipsy already but she could walk okay.

while i and my friend made up some crazy story and named ourselves ‘amanda’ and ‘eleanor’ to one of the servers, time flew and we went home. at this point, everything was still okay to me. shit only got to me when i was finally in my room.

it hit me, guys. it hit me BAD.

everything was spinning around me. even when i closed my eyes they were still spinning. i felt like riding a very bad trip on a truck.

and i vomitted.

it was shitty. especially if i remembered that the last time i puked like that was when i drank too much of the Mansion House cheapshit. the equivalent of horse piss in a bottle. you’re grateful everytime you drink it and not turning blind already.

long story short, i fell asleep and woke up at 5 AM to mop my floor because it was covered in vomit.  i also swore i wouldn’t touch more than 2 shots of tequila a night. and really, really, avoid the cheap shit.

anyways, i hope you get what i’m trying to say. and if you don’t, i don’t even care. i just hope i can blog more often.

lika-liku raskin (tapi bukan tentang berasnya) – bagian empat

[disclaimer : lanjutan dari bagian tiga. baca di sini]

karena kalau dengerin curcol udah bosen, maka kadang-kadang kami sebagai anak-anak bangsa yang peduli nasib masyarakat yang kurang mampu, ingin juga sesekali berkontribusi pada perekonomian lokal. kalau menurut bahasa kerennya dosen saya, bu dewi, namanya local economic development. yang saya terjemahkan menjadi; kalo beli sampo di warung tetangga, jangan ngutang. okesip.

karena kalau ngasih cucian ke bibi-bibi cuci agak kurang praktis (meskipun di kamar cucian udah numpuk dan mulai berbau busuk), maka paling banter hal bisa dilakukan adalah membeli barang dagangan bapak/ibu yang mungkin kebetulan punya warung. itu juga kalau kami kebetulan memang lagi kepengen aja.

tapi perlu diwaspadai bahwa memang, tanpa bermaksud melecehkan yang punya dagangan, jajan-jajan di lingkungan yang kurang terjamin kebersihannya mungkin agak mengkhawatirkan. apalagi kalau yang jualan ngaku pernah pipis di pinggir jalan dekat tempat dia jualan sosis (baca bagian satu).

tapi terbilanglah suatu waktu kami bertugas mengunjungi sebuah rusun penggilingan. waktu itu bulan puasa, tapi seperti pada umumnya jakarta, udara panasnya cukup laknat saat itu dan saya tidak membawa botol minum. mana di rusun gak ada yang berbaik hati nyuguhin pula.

sambil menunggu waktu pulang, saya dan si emily pun nongkrong-nongkrong manis dekat parkiran. saat itulah kami melihat ‘warung-warungan’ seorang ibu yang menjual es kelapa. sama-sama gak puasa, kami pun memutuskan untuk mengambil kesempatan dan membeli minuman yang terlihat menggoda tersebut. (di mana setelahnya si emily digodain sama anak-anak tuyul penggilingan yang ingusnya secara harafiah masih meleber ke mana-mana karena gak puasa ‘ehhhh kok kakak ga puasaaa sih??‘. sulit menjelaskan ke anak-anak kutil kalau sebulan sekali kaum perempuan maunya sih bawa bazooka ke mana-mana supaya bisa nembak seenak jidat kalau ketemu orang ngeselin)

dikerubungin lalat? GAK MASALAH. gak tau darimana kelapa itu berasal? GAK APA-APA. ibu yang jualan baru aja guling-gulingan di lantai? YO WIS LAH. yang penting bisa memuaskan dahaga.

sampai pada tahap es kelapa dituangin ke plastik, tidak ada masalah. dengan tenang saya juga memberikan uang beberapa ribu rupiah untuk membayar es tersebut. tapi pas mau nambahin es…. YASALAM… si ibu ngambil esnya PAKE TANGAN AJA DONG. seapes-apesnya saya kalau jajan di pinggir jalan, biasanya si abang atau teteh jualan ya ngambil es kalau nggak pake plastik lagi ya pake sendok. nah ini… dengan teganya si ibu menggunakan tangan yang sama yang tadi barusan ngambil uang dua rebuan buluk saya untuk meraup es di dalam cooler terus nyemplungin esnya ke plastik kelapa saya.

yah, runyem. tanpa berniat seudzon, mana tau kan tadi si ibu abis cebokin anaknya sebelum ini.

tapi apa boleh buat. negosiasi telah terjadi, uang udah berpindah tangan, ya masak gak jadi. kita juga kan nggak tega untuk batalin es kelapanya. “yah, bu, maap tadi abis cebokin anaknya ya? gak jadi beli deh.” nanti aku dirajam sekelurahan penggilingan yang ada.

dengan muka lempeng, saya pun menerima es kelapa itu dan meminumnya. namanya lagi haus, es kelapa itu pun tetap terasa nikmat. lagipula, setelah dipikir-pikir, saya memilih untuk percaya pada kemampuan perut saya yang sehari-hari juga mencerna pecel lele yang jualannya di atas got.

terbukti, sampai besok-besoknya pun saya masih sehat walafiat. yang justru menimbulkan ‘gejolak’ di perut saya justru adalah gorengan yang saya beli di cipinang besar selatan. sekali lagi, tanpa mengurangi kenikmatan risol yang saya makan, saya agak curiga risol itu menimbulkan gejolak karena dibikinnya tepat di samping KUBURAN.

jadi ceritanya memang perkampungan yang kami datangi hari itu letaknya dikelilingi kuburan, dan KATANYA, katanya aja nih, rumah-rumah yang kami datangi juga dibangunnya di bekas kuburan. entah bener atau enggak kurang paham juga ya. dan waktu itu kebetulan si chitra pekong mengunjungi sebuah keluarga yang bisnisnya adalah jualan gorengan dan rumahnya emang persis banget di samping kuburan. kalau mau ikut dunia lain ya paling malem-malem duduk aja di depan pintu belakang juga udah cukup.

ngomongin soal kuburan, karena perkampungannya beneran dikelilingin kuburan, maka tidak terelakkanlah suatu saat di mana saya dan si pekong mesti banget melewati jalan pintas yang kebetulan adalah kuburan cina. jangan bayangin kuburan cinanya masih bagus dengan hiasan-hiasan spektakuler yang bikin hati berasa di shanghai. ini kuburannya udah gak terawat dengan rumput yang tumbuh tinggi-tinggi dan beberapa makam yang tanahnya menganga karena abis dibongkar.

emang dasar bawaanya penakut mungkin, baru saja beberapa langkah memasuki pekuburan itu, si pekong udah megangin tangan saya kenceng banget. ya udah lah yah. sementara saya cukup aja diem dengan berusaha gak ngomong sompral, si pekong mempraktekkan apa yang biasanya memang suka dilakukan kalo melewati kuburan yaitu bilang ‘permisi, permisi‘. meskipun yang nyaut cuma keong, ya bilang aja permisi.

pekong pun komat-kamit,”permisi, permisi. permisi. apa sih bahasa cinanya permisi?” *gak ada yang nyaut* “permisi… hau siang-hau siang, hau siang-hau siang.”

tunggu.

HAU SIANG-HAU SIANG?? ngana pikir sini lagi maen KABUT CINTA???

si pekong memang fantastis.

sesungguhnya, kalau anda sekalian menyadari, si pekong sering banget kesebut dalam postingan serial ini. pertama, selain karena memang kita satu grup sehingga setiap hari ke mana-mana pasti bareng, entah kenapa doi juga punya bakat mengundang kejadian dan orang-orang aneh ke dalam hidupnya.

kita berdua juga adalah partner bobo di mobil. jadi setiap pagi kerjaan kita setelah sarapan adalah buru-buru masuk mobil supaya bisa menguasai bangku belakang berdua dan TIDUR. percayalah, kalau memang udah kurang tidur, beberapa menit di mobil aja bisa menjadi waktu tidur yang sangat berharga. gak heran sering kerjaan kita adalah ‘berpesan’ sama sopir yang bertugas; “pak, ke daerah xxx lama gak pak? jauh gak pak? pilih yang jalannya MACET aja pak, biar kita tidurnya juga lama.” KELAKUAN.

selain alasan-alasan itu, memang mungkin si pekongnya aja bawaannya otaknya mines. terlihat dari meskipun doi berasal dari IPB, doi gak ada relijius-relijiusnya sama sekali. yang ada dia kalo nyeritain joke tentang ‘insiden’ pocong laut ngakaknya bisa sampe guling-guling di tanah (yang sebaiknya gak usah diceritain di sini daripada menimbulkan PERPECAHAN di tanah nusantara). maaf inside jokes.

untuk mengganti topik, baiklah sekarang saya akan menceritakan sebuah kejadian agak asem-asem membingungkan tapi goblok juga yang menimpa saya dan si pekong berdua.

jadi ceritanya, waktu itu saya harus mengunjungi seorang bapak terakhir di rusun penggilingan. karena si pekong lagi bosen dan kebetulan emang gak ada kerjaan, dia pun menawari untuk menemani saya ke rumah si bapak tersebut.

ternyata eh ternyata, berbeda dengan orang-orang lain sejauh ini yang kami temui yang pendidikannya kebanyakan SD aja gak lulus, bapak ini, sebut saja namanya jepri [bukan nama sesungguhnya], dengan mencengangkannya adalah lulusan program magister di jurusan yang cukup terdengar ‘wah’ di telinga kami. terbukti juga dengan si bapak yang merespon pertanyaan-pertanyaan kami secara lancar dan ‘nyambung’. semuanya pun berjalan baik dan memuaskan hingga justru ketika tiba saatnya pak jepri balik nanyain kita.

pak jepri : “jadi adek-adek ini masih mahasiswa? dari mana?

saya : “kalo saya dari ITB, pak.

pekong : “saya dari IPB, pak.

pak jepri : “wah, di mana itu?” *muka bingung*

perlu DICATET bahwa muka saya sama pekong juga IKUT BINGUNG.

saya : “ITB di bandung pak.

pekong : “kalo IPB di bogor.

pak jepri : “saya kok gak pernah dengar ya? kenapa di bandung? gak di jakarta?

sampe sini saya dan pekong SEMAKIN BINGUNG. tapi dengan sabar si pekong masih berusaha menjelaskan.

pekong : “yah, namanya juga kan pak, ITB. institut teknologi bandung. makanya adanya di BANDUNG. IPB juga institut pertanian bogor, jadi adanya di BOGOR.

pak jepri : “kalian gak milih yang di jakarta? gak ada cabangnya gitu di jakarta?

KOK SUSAH YA JAWABNYA.

yang jelas, saya dan si pekong udah liat-liatan sambil nunduk aja. antara sedih tapi pengen ngakak. antara pengen memberi pencerahan juga.

abis CABANG bok. CABANG bahasanya. macem es teler 88 aja.

untungnya kayaknya si bapak juga ikut bingung sehingga semuanya disudahi sampai di situ saja. di mana saya dan si pekong langsung ngacir secepat-cepatnya bukan karena apa-apa, tapi karena ketawanya udah gak bisa ditahan lagi.

jangan salah paham. bukan maksud hati mau kurang ajar ya. dan bukan maksud hati sombong juga karena katanya, KATANYA, sekolah kita salah satu yang paling ngehits seindonesia. tapi agak susah dipercaya seseorang yang ngaku lulusan program magister di universitas di indonesia, tinggal di PULAU JAWA, PUNYA TIPI DI RUMAH, kerja di salah satu DINAS yang cukup ngehits juga, gak pernah SEKALIPUN mendengar soal ITB dan IPB.

entah ngana sebetulnya diem-diem mata-mata dari korea utara atau emang lagi ngerjain saya dan si pekong, saya GAGAL PAHAM, pak.

tapi setidaknya pak jepri ini nggak minta-minta banget ditampol pake karung beras raskin seperti seorang ibu yang pernah saya temui.

perlu diingat bahwa kejadian ini juga ternyata terjadi pada teman saya yang lain, bahkan mungkin bisa dibilang cukup persis. (yang mengalami ini juga silakan ngacung) saya lupa siapa yang mengalami juga tapi ceritanya kira-kira begini. diceritain sekaligus aja karena males nulis dua kali.

dalam setiap sesi, kami selalu membawa sebundel kertas untuk mencatat jawaban bapak-bapak dan ibu-ibu. nah suatu ketika, ada seorang ibu yang matanya serius banget memperhatikan apa yang kami tulis dengan mimik pengen tau banget. hingga akhirnya si ibu itu dengan sompralnya menarik kertas kami dan memandanginya dengan seksama. “coba liat, dek.”

tapi ngenesnya, setelah beberapa lama si ibu mengembalikan kertas itu sambil nyengir. “ibu sebenernya gak bisa baca, dek

YA TERUS NGANA TADI NGAPAIN??

pada kasus saya, si ibu yang sama sampe bela-belain pergi dulu ngambil KTPnya di rumah supaya saya bisa catat karena dia gak tau gimana ngeja namanya sendiri.

semenjak saya berkunjung ke keluarga-keluarga miskin di jakarta, saya baru tahu ternyata memang orang buta huruf di sini masih banyak, meskipun kebanyakan orang-orang tua. selama ini saya selalu berpikir yah kalaupun umurnya udah 50 dan gak lulus SD, tapi kalau baca abcdefg dan ngitung sederhana mah harusnya bisa lah ya. ternyata kan tidak seperti itu, saudara-saudara.

tapi perlu diingat bahwa kadang-kadang kesalahpahaman itu datang bukan gara-gara salah bapak-bapak atau ibu-ibu tapi kitanya sendiri. yah, yang namanya tiap hari ke lapangan, bangun pagi-pagi padahal nyawanya masih setengah nyangkut di selimut, kadang-kadang kegoblokan pun merajalela tanpa disadari.

suatu hari saya pun menemui seorang bapak yang sebetulnya biasa-biasa aja. seperti biasa, di awal saya selalu menanyakan nama, umur, dan pendidikan terakhir dari semua anggota keluarga.

saya : “di sini yang tinggal siapa aja pak? namanya siapa?

pak A : “saya, hasan. anak dua. ani sama anu [semua bukan nama sebenarnya]”

saya : “bapak umur berapa? sekolah sampe mana pak?

pak A : “40. sampe sd aja. kalo anak saya yang pertama 13 taun.

saya : “kalau anak saya sekolahnya udah sampe mana pak?

sampe sini si bapak pun BENGONG. yang mana wajar aja lah yah, saya juga GAK INGET pernah punya anak. apalagi si bapak. apalagi kalo si bapak ditanyain anak saya sekolahnya sampe mana.

tapi emang ketololan seperti itu pun kadang terjadi lagi meski dengan bentuk yang sedikit berbeda.

saya : “jadi ibu anaknya si A umur berapa bu? kalau si B?

ibu D : “si A 12 taun. si B 3 taun.”

saya : “si A sekolahnya sampe mana bu?

ibu D : “taun ini mau masuk smp.

saya : “kalo si B?

dan biasanya muka si ibu di sini kalo nggak kayak pengen nge-pukpuk saya, udah cembetut-cembetut asem.

ibu D : “belum lah, mbak. kan baru 3 tahun.

hidup ini memang berat.

[bersambung]

lika-liku raskin (tapi bukan tentang berasnya) – bagian tiga

[disclaimer : lanjutan dari bagian dua. baca di sini.]

dalam pekerjaan apapun, tanpa disadari, tampang memang menjadi faktor yang sangat penting dan cukup menentukan nasib kita selanjutnya. keberuntungan, kemalangan, kadang-kadang bukan ditentukan oleh kerasnya doa dan ibadah tapi oleh apakah bapak ibu kita cukup baik hati mewariskan gen-gen ganteng dan cantik atau justru entah bagaimana hasilnya malah sebelas dua belas sama batok kelapa yang baru diserut. yah nasib.

pada kali ini pun, tentu saja tampang juga sangat berpengaruh terhadap keberjalanan kegiatan kami selama tiga minggu tersebut.

saya sendiri sebetulnya berada di barisan yang cukup beruntung. meskipun katanya muka saya masih kayak anak smp dan katanya kalo lagi pake celana training susah dibedain sama anak sd inpres,  tapi sejauh ini saya nggak pernah mengalami kejadian memuakkan berkaitan dengan penampilan. yang ada, karena wajah yang emang bawaan oroknya udah memelas dan minta dikasihanin, saya sudah dua kali dianterin pake motor oleh mas-mas baik hati yang mungkin gak tega ngeliat anak tuyul kayak saya jalan-jalan tanpa arah di kampung sumur dan kalibaru, yang ternyata mengundang IRI HATI dan DENGKI dari rekan-rekan lain karena mereka gak ada yang diboncengin. HEYAH.

teman-teman yang lain pun sejauh yang saya tahu tidak pernah menemui kejadian yang aneh-aneh atau dibuli karena tampang oleh penduduk setempat. yang dibilang cantik ada, yang ganteng sering. mungkin yang rada apes cuma pangeran pati, mas andri, yang pernah dituduh sales kompor gas atau tukang survey bank. SEDIH memang. bahkan bang fajar, yang mukanya suka mesum-mesum geli gimana gitu, dan haliman, yang INI BUKAN RASIS tapi mukanya sebelas dua belas sama yang dagang kulkas di glodok, sejauh ini gak pernah dituduh berbuat tidak senonoh kepada para penduduk.

karena wajah-wajah kami yang masih muda belia pun, seringnya kami dipanggil mas/mbak. paling banter ya pak/bu. saya sendiri biasanya dipanggil kalau nggak mbak, bu, teteh, palingan dek. masih wajar lah yah.

yang agak unik justru si chitra alias pekong. sekali waktu makhluk ini sempet-sempetnya ketemu ibu-ibu yang memanggilnya bukan dengan mbak/bu/teteh/adek, melainkan SEUZ. “silakan, sini sini masuk, SEUZ!

entah muka si pekong yang bernuansa prasejarah atau ibunya aja yang memang masih kejebak di era waktu warkop masih ngehits, saya juga gak paham.

meskipun demikian, saya cukup merasa lega karena kalo soal tampang, yah di antara teman-teman seperjuangan juga gak ada yang minus-minus amat. setidaknya di AWAL. karena entah mengapa setelah hari-hari berlalu, semakin lama penampilan-penampilan anak-anak yang awalnya kinclong makin mirip bibi cuci penjaringan.

apalagi kalau udah waktu berbuka puasa. ketika tamu-tamu hotel yang lain seger-seger dan kece-kece ke restoran untuk makan, kalau udah ada kita-kita nuansanya justru jadi kayak buka bersama anak yatim. setelannya lengkap celana tidur / training, kaos gombrang luntur, plus sendal kamar. yang pake kerudung, kerudungnya juga udah kerudung madrasah aja. kecuali mungkin si emily yang selalu masih ngehits dengan kerudung cantiknya. itu juga curiganya karena doi emang gak bawa stok kerudung lain aja.

tapi emang coba bayangin. kalau udah berhari-hari tinggal di hotel, mau tampil kece pun udah males. gak peduli di hotel bintang empat atau bintang kejora kek, yang penting tidak mengganggu kepentingan umum ya sudahlah yah.

saking lamanya tinggal di hotel, dan karena kita orang-orang sekampung kamarnya kebanyakan di lantai yang sama, maka gak heran juga kalau akhirnya kelakuan makin lama juga makin kayak penghuni rusun pinus elok. berasa punya sendiri, bok! dari yang maen ngetok-ngetokin pintu, teriak di koridor, sampe masuk keluar kamar orang sembarangan. belom lagi yang sempet-sempetnya ‘piknik’ di depan kamar-kamar. berasa kebon raya.

untungnya meskipun kadang-kadang kamar orang udah berasa kamar sendiri, di antara kita nggak ada yang klepto. bisa dibayangkan betapa rawannya bila ada. itu beha sama celana dalem temen sekamar saya aja geletakan di mana-mana.

dan untungnya lagi, ‘seribut’ apapun kita, biasanya kehebohan itu semua akan berakhir sebelum tengah malam. jadi penghuni hotel yang lain bisa beristirahat dengan tenang.

meskipun sesungguhnya, adalah keajaiban selama ini kita belom diblacklist sama yang punya hotel.

bisa dibayangkan, dengan segala kenyamanan yang kita miliki di hotel, tentunya hati ini akan semakin ngenes kalau tiap hari harus melihat orang-orang miskin di rumah petak dari triplek dan asbes yang kayaknya kalau ketiup angin aja bisa porak-poranda.

tapi percayalah sodara-sodara, keibaan itu hanya bertahan di hari-hari pertama.

bukannya kita gak punya hati dan berempati, tapi kalau udah jutaan kali ketemu orang-orang yang kisah hidupnya sebenernya sama-sama aja, lama kelamaan juga bosen sih yah. apalagi jelas kebanyakan ibu-ibu dan bapak-bapak kalau udah ketemu kita bawaannya pengen CURCOL. dan sejujurnya, kita juga mau kok mendengarkan curahan hati itu, apalagi pas ibu/bapaknya udah pake berlinang aer mata segala, kalau aja tiap sore nggak disuruh-suruh cepet balik ke hotel karena khawatir kitanya yang manis-manis lutju manja ini diculik sama preman setempat. mending kalau diculik. kalau disilet-silet terus dibuang ke pasar ikan? nah kan. bisa ketuker sama tongkol.

kadang-kadang pula, keibaan ini tidak bisa diekpresikan bukan karena tidak mau. tapi karena ada gangguan lain yang tidak bisa tidak dihiraukan.

contohnya saja, terbilanglah seorang bapak-bapak bernama pak hapid [nama disamarkan]. pak hapid ini konon sangat girang saya berkunjung ke rumahnya, karena selama ini, seumur-umur, belum pernah ada orang ‘pemerintah’ yang mengunjungi beliau. padahal beliau ini kurang susah apa. pekerjaan tetap gak punya, rekening listrik mahal, makan raskin, ibunya yang janda juga udah gak ngapa-ngapain. blt kayaknya juga nyaris gak kebagian.

maka sesi wawancara si bapak pun diawali dengan ceramah. harapan sih ceramahnya ceramah agama aja biar agak adem di bulan puasa. tapi apa boleh dikata. ceramahnya lagi-lagi soal BLT dan jatohnya yang tidak tepat sasaran.

ya coba nanti kamu bilangin…siapa nama kamu?

lusi, pak.

ya lusi, kamu bilangin sama atasan kamu. beginilah keadaannya. saya seumur-umur di sini gak pernah tuh dapat bantuan. gimana sih itu pendataannya. saya gak pernah disurvei, loh. padahal kamu liat sendiri…

tapi, pak, ini bukan pendataan BLT...”

tapi kamu nanti ketemu atasan kamu kan?? kamu harus bilangin!

tapi...”

ya lusi, ya? bapak minta tolong….kepada lusi…

haduh. SEREM BOK YA udah pake bawa-bawa nama segala. macem saya mau dituntut aja abis ini karena php alias menebar harapan palsu. padahal capres aja bukan.

karena gak tega, dan buang-buang tenaga juga biasanya berusaha menjelaskan yang kayak ginian, saya biarkan aja si bapak curcol. sekalian juga saya ngaso di situ, kebetulan kipas angin bapaknya lumayan sepoi-sepoi.

sementara itu, si bapak makin berapi-api. sesungguhnya saya sudah berkonsentrasi penuh pada curcolan si bapak (siapa tau kapan-kapan saya jadi anggota DPR kan. lumayan menampung aspirasi), ketika entah kenapa tiba-tiba saya menoleh ke arah kaki saya yang terlipat cantik di lantai. dan WASALAM, saat itu jugalah saya melihat seekor KECOAK nangkring manis tepat di sebelah jempol saya.

ya iyalah konsentrasi BUYAR seketika. mau konsen sama curcol gimana. ada masalah lain yang lebih mendesak yang harus ditangani. sepatu jauh, dipukul tangan gak mungkin, saya cuma bisa menatap nanar pada makhluk yang munculnya agak-agak kurang tau situasi ini.

awalnya sih saya mau manggil si bapak untuk ngambil sapu atau apa kek. tapi apa daya si bapak lagi seru-serunya curhat ya gak tega juga nyela…. masa di tengah-tengah “gak pernah dek…bapak gak pernah dapet apa-apa. itu kalau orang pemerintahnya ada di depan bapak, bapak jujur aja, dek. bapak mau bilangin semuanya!” terus “eh tapi pak itu ada kecoa. tolong digebuk dulu.” YA KAN GAK MUNGKIN. tapi terus itu si kecoak gimana…. hati saya dag-dig-dug was-was aja kalo dia semakin mendekat. itu kumisnya udah hampir-hampir nyentuh kaos kaki.

sementara si bapak gak sadar kalau mata saya udah lebih sibuk ngelirik kaki, dalem hati saya cuma bisa komat-kamit berdoa semoga si kecoak pengertian dan segera pergi. yang tentu saja adalah PERCUMA karena dia tetep nangkring di situ.

karena selain doa harus ada usaha, maka saya pun akhirnya memberanikan diri untuk mengusir si kecoak. karena sepatu saya jauh dan gak ada sapu, akhirnya saya sodok-sodok aja si kecoak itu pakai PULPEN. tak ada rotan akar pun jadi tak pernah lebih berkesan daripada saat ini.

untungnya setelah beberapa sodokan, kecoak itu akhirnya lari dan ngumpet di bawah almari. sementara saya menghela nafas lega, si bapak ternyata masih curhat. saya pun cuma bisa minta ampun dalam hati karena kayaknya cudah si bapak terbuang percuma untuk curhat karena sayanya juga udah kaga dengerin.

hal lain berkaitan dengan rumah yang sebenarnya saya juga udah tahu dari jaman dinosaurus belum bertelor adalah bagaimana di sebuah kamar petak dengan lubang udara yang minim, bisa ditempati oleh berjuta-juta orang. oke LEBAY. tapi saya bahkan pernah menemukan rumah triplek ukuran sekitar 4 x 4 meter yang ditempati oleh TUJUH orang sekaligus. boboknya tiap malem udah kayak dadar gulung didempet-dempet kali ya.

saya ngerti sih memang kalau orang susah yah mau gimana lagi kan. semua yang gak enak harus dienak-enakin. tapi yang saya soroti bukan itu. melainkan kok kenapa ini sepasang sejoli ibu-bapak yang kerjaannya kuli angkut dan tukang jual sosis anaknya sampe LIMA? etdah.

nggak jarang loh saya menemukan keluarga yang seperti itu. penghasilan pas-pasan, rumah petak, tapi anaknya kayaknya brojol tiap taun. sungguh bawaannya pengen ngasih kondom sekardus. *puk puk petugas KB dari sabang sampai merauke*

kalau dipikir lebih dalam lagi, dengan keadaan rumah yang cuma punya satu kamar, dan wc yang terpisah dari rumah, kok bisa juga ya bapak dan ibu rajin banget memproduksi anak? pasti tekniknya bapak ibu luar biasa. atau mungkin SENGAJA memang anaknya aja sering dikirim rekreasi ke luar rumah, sementara bapak dan ibu berekreasi juga di rumah. bahkan salah satu teman seperjuangan, si fitri, pernah jadi korban harus mendengar becandaan mesum sekelompok ibu-ibu yang sepertinya memperjelas proses bagaimana munculnya anak-anak tuyul ini ke dunia.

tidakkah bapak ibu ingat bahwa biaya masuk TK sekarang sudah mencapai sepuluh juta rupiah?

saya bukannya nyinyir. saya juga ngerti dengan keterbatasan informasi dan tingginya harga kondom (yang lebih baik dipake beli rokok aja), sementara hasrat kebutuhan primal manusia masih menggebu-gebu, kadang-kadang terjadi aja ‘kecelakaan’ yang membuat bapak ibu berharap tahun depan duit Kartu Jakarta Pintarnya cair. ini tantangan kita semua.

[bersambung]

lika-liku raskin (tapi bukan tentang berasnya) – bagian dua

[disclaimer : lanjutan dari bagian satu. baca di sini.]

emang kayaknya udah nasib setiap kali ada kegiatan ke lapangan saya selalu menemui hal-hal aneh. kadang ada bagusnya karena terhibur, kadang sedih juga karena apes dan kerepotan. mana yang lebih sering, sejauh ini saya belum pernah menghitung. syukurnya sih selama ini masih sehat-sehat walafiat tidak kurang suatu apapun tiap kali pulang ke rumah kecuali isi otak. yakinlah, kalau berhari-hari ngomong sama orang yang logikanya sebatas di mana ada air di situ ada ikan, lama-lama otak ngana juga akan menciut.

omong-omong soal ketemu hal aneh, baru sekali ini juga di lapangan saya ketemu petugas investigasi alias DETEKTIF. seumur-umur ditilang aja belom pernah, taunya investigasi aja cuma SILET di rcti, tiba-tiba saya diinterogasi oleh mas-mas yang ngaku-ngaku sebagai ‘petugas’.

jadi ceritanya di kelurahan lagoa yang terkenal akan kerawanannya, saya lagi mashyuk mewawancarai seorang janda yang setrika aja numpang ke tetangga ditemani oleh pak rt setempat. di tengah-tengah sesi, mendadak ada bapak-bapak yang menginterupsi sambil nanya-nanya saya dari mana dengan gaya sok asiknya. saya pun berusaha menjelaskan tanpa perlu terlalu menjelaskan (karena dari pengalaman, kalo dijelasin beneran orangnya bakal tambah bingung jadi gak usah aja deh dari pada boros cudah) tapi si bapak-bapak ini makin menunjukkan ke-sok-asikannya seolah-olah neneknya presiden lagoa. dia kemudian bilang bahwa banyak orang yang suka wawancara-wawancara gak jelas di lingkungannya dan  dia juga tau yang ‘begitu-begituan’ karena dia sendiri bekerja di badan-sesuatu-sesuatu-nasional-sesuatu. suer, saya juga lupa nama badannya saking panjangnya!

melihat muka saya yang cengo – gak ngerti juga mau nanggepin apa, dia bilang bahwa dia adalah semacam petugas investigasi. yah, detektif lah kalau diterjemahkan ke bahasa gaul. mungkin karena saya masih cengo, setengah capek setengah pengen balik ngewawancarain janda kere tadi lagi aja, puncaknya si bapak-bapak ini masuk rumah cuma untuk nunjukin saya badge tugasnya. itu tuh, mirip badge polisi-polisi yang ada logo bintang emasnya kayak di pilem-pilem. “nih dek, liat. saya punya ini!” YASALAM.

sementara saya masih berusaha untuk mencerna kejadian ini, saya melirik pak rt yang cuma ngangkat-ngangkat alis dan ngangguk-ngangguk gak jelas – yang saya terjemahkan dalam hati menjadi “udah, dek, udah. IYAHIN aja.

untungnya sepertinya si bapak-bapak detektif ini memutuskan bahwa saya bukan ancaman bagi lingkungannya, bahkan menawarkan diri untuk nganter keliling kampung ngegantiin pak rt yang harus saya tolak karena udah kesorean. yang ternyata adalah MODUS GANJEN karena abis itu si bapak detektif nanya-nanya nomer hape segala dan sempet-sempetnya ngegombal ‘coba saya ketemu kamu duluan [sebelum istri saya]‘. HALAH.

lagoa memang kelurahan yang lumayan unik dan mencengangkan. karena kebetulan di salah satu rt yang saya datangi, saya juga bertemu dengan seorang ibu-ibu sakti dan gaul yang dicurigai (ini menurut tuduhan pak rtnya sendiri loh yah) adalah calo KJS alias kartu jakarta sehat.

ibu ini bernama jaenab [bukan nama sebenarnya]. meskipun rumahnya masih dari triplek-triplek reyot yang kalau mau dikunjungi harus serba hati-hati kalau gak mau ketiban asbes copot dan lampu-lampunya harus dinyalakan 24 jam saking gelapnya, beliau mengaku sebagai salah satu orang yang ‘ditakuti’ oleh orang sekampung bahkan sekelurahan. ia juga suka bolak-balik ke kantor walikota, ‘mengurus warga’, dan katanya paling vokal membela kepentingan orang-orang kampung, bahkan mencak-mencak marahin tetangga kalau buang sampah sembarangan. sungguh niat yang sangat mulia.

tapi tentu saja bagian yang paling spektakuler dari bu jaenab buat saya bukanlah soal keperkasaannya atau ketegangannya dengan pak rt setempat. tapi justru profesinya.

bu jaenab mengaku bisa mendapat 200 sampai 300 ribu rupiah sekali ‘dipanggil’, dan di musim-musim ramai, ia bisa setiap hari dipanggil. coba aja kalikan 300 ribu dengan 30 hari. sembilan juta sebulan, bok!

dan apakah profesinya?

MANDIIN JENAZAH.

selama ini kita ditipu sodara-sodara. MY WHOLE LIFE HAS BEEN A LIE! gak usah sekolah tinggi-tinggi. gak usah masuk UI, apalagi ITB. gak usah lulus kalkulus atau fisika dasar. gak usah bikin tugas akhir. modal gayung sama baca doa doang situ udah lebih kaya dari kebanyakan lulusan sarjana!

hidup itu memang kadang tidak adil, teman-teman.

pantes juga yah kalau dia ‘ditakuti’ di lingkungannya. kalo ada yang ngelawan takut dikirim pocong juga kali.

tapi yah, bu jaenab hanyalah setitik upil di lautan karena pada umumnya pekerjaan masyarakat miskin yang saya temui biasanya nggak jauh-jauh dari buruh kasar, itu pun seringnya serabutan. meskipun suatu ketika saya sempat ketemu seorang ibu yang menyebut pekerjaan suaminya dengan ‘prilens’ – bahasa gahol jatinegara untuk freelance. yang setelah ditelisik lebih jauh karena penasaran adalah; “yah, suami saya dipanggil untuk apa aja juga bisa. benerin lampu bisa. benerin pintu bisa..” YA GAK SALAH SIH BU. TAPI – ya sudahlah yah gak usah dibahas.

selain itu sih biasanya jawaban pekerjaan masih normal-normal aja. kecuali mungkin satu bapak-bapak kurang ajar yang waktu ditanya siapa aja yang kerja di rumah dia menjawab “di sini mah gak ada yang kerja, mbak. nganggur!” tolong DICATET itu jawabnya sambil ngelapin motor bebeknya yang masih kinclong.

lalu setelah ngobrol beberapa lama dia pun bilang “tapi karena ini bulan puasa, saya ngaku aja deh mbak. saya kerja kok di xxx.”

MENURUT NGANA?!?! belom pernah mukanya dilap pake kerokan bawang, pak?? 

untung bulan puasa.

selain buruh kasar, sebenarnya di kalangan ibu-ibu pada umumnya ada sebuah pekerjaan yang cukup populer juga. pekerjaan itu tidak lain tidak bukan adalah kuli cuci gosok. yang lucu, di manapun kelurahan yang kita amati, kuli-kuli cuci gosok ini punya kisaran gaji yang sama, yaitu antara 300 sampai 500 ribu sebulan. kalau di daerah-daerah ada UMR alias upah minimum regional, mungkin kuli-kuli ini juga punya UMB alias upah minimum bicu (bibi cuci) kali ya. walaupun dalam satu kasus saya juga menemukan seorang ibu yang ngakunya cuci gosok tapi pendapatannya 3 juta per bulan kurang lebih. ngana cuci gosok apa buka laundry?? yah, sebenernya cuci gosok dan jasa laundry mirip-mirip sih, tapi tetep aja beda urusan.

meskipun seringkali ibu-ibu ini tidak berkarir alias kalau nggak cuci gosok ya paling ngejegrog aja di rumah ngurusin anak tiap hari, tapi menurut pengamatan saya merekalah selain anak-anak yang paling kelihatan bahagia meskipun tinggal di tempat yang menurut standar orang lain mungkin kurang layak. hubungan mereka dengan sesama ibu-ibu lain di lingkungannya sama saja dengan hubungan pertemanan para wanita pada umumnya; asem-asem manis kayak sop buah basi. kalau lagi kompak kerjaannya ngikik-ngikik gak tau malu di pos ronda atau depan musholla, ngehina-hina satu sama lain, tapi di belakang gak yakin juga yah. mereka juga biasanya sangat paham dengan keadaan keluarga tetangganya bahkan melebihi si tetangga itu sendiri (mungkin cuma bisa disaingi sama ibu-ibu pkk).

misalnya pada kasus berikut.

saya : “jadi bapaknya kerjanya apa bu?”

ibu A :”yah, cuma jadi buruh…

tetangga : *tetiba nyamber* “ya bilang aja suami lu gak kerja! udahlah bilang aja apa adanya! gak kerja dia mah mbak! cuma gitu-gitu aja noh tiap hari. istrinya aja protes mulu kaga pernah dikasih duit!

atau kasus berikut.

saya : “memang ibu di rumah pake lampu berapa? berapa watt?”

ibu B : “empat, bu. aduh gak tau yang gitu-gituan sih.” *ngelirik tetangga* “eh, lampu di rumah gua berapa watt sih?”

tetangga : “elu mah pakenya empat puluh watt semua!”

ibu B : “empat puluh watt, bu.

bahkan untuk urusan romantika pun, sang tetangga begitu perhatian. seperti pada kisah berikut.

saya : “jadi di rumah ibu yang tinggal berapa orang?”

ibu C : “dua. cuma saya sama anak saya.”

tetangga : *nyamber* “nah, laki lu??”

ibu C : “kan udah cere!”

tetangga : “tapi kan masih ada orangnya.”

ibu C : *sewot* “tapi kan udah pisah kite!”

tetangga : *ikut sewot* “tapi masih satu KK! lu gimana sih??”

ibu C : *tambah sewot* “orangnya juga udah kaga di rumah lagi! udah TALAK! gimana sih ah!

tetangga : “ya itu belom resmi kali. KK-nya kan masih nyatu.” *nengok ke saya* “udah, mbak, itu bertiga di rumah. masih ada kok suaminya!

ibu C : “tapi kan –

perdebatan pun terus berlangsung sampai akhirnya sang TETANGGA yang menang. sementara ibu C cuma bisa cemberut-cemberut asem karena sang (bakal mantan) suami masih tetap diperhitungkan sebagai anggota keluarga. meskipun untungnya perdebatan itu berakhir damai dan tidak berujung pada saling parut-parutan muka.

tapi jangan khawatir. meskipun kedengarannya ibu-ibu ini ganas juga, sebenarnya mereka santai, baik hati, dan mudah tertawa. mereka juga sangat SOLIDER kalau udah urusan bagi-bagi BLT dan RASKIN. kalau ada pendataan orang miskin, sudah pasti mereka akan merekomendasikan tetangga-tetangganya yang lain, terutama yang janda-janda. dengan setelan kerudung tukang martabak (jilbab madrasah + t-shirt oblong lengan pendek) yang biasanya dipake kalau siang-siang dan mau ke pasar aja, mereka akan memanggil saudara-saudaranya yang sama-sama kena derita ibu kota untuk berkumpul dan didata. terbukti pada waktu itu, meskipun udah capek mulut berbusa-busa menjelaskan bahwa kami BUKAN pendata BLT, mereka masih memanggil mpok-mpok lainnya untuk ‘didata’. “udah sana lu ikut aja. pokoknya ikut dicatet aja lah lu biar dapet! panggilin si eti sama mak ijo juga ye!”

sungguh luar biasa persaudaraan ibu-ibu ini.

 [bersambung]

lika-liku raskin (tapi bukan tentang berasnya) – bagian satu

[disclaimer : this post will be written in indonesian because apparently it’s way funnier, sillier, and traumatizingly stupid that way]

jadi terbilanglah suatu ketika saya berkesempatan untuk mengunjungi wilayah-wilayah miskin jakarta dalam rangka suatu pekerjaan yang lebih afdolnya tidak perlu dibahas – untuk saat ini. bersama kurang lebih belasan rekan lain dari berbagai jurusan dan universitas terkemuka lain *tsah* (yang di balik penampilan dan cv-nya ternyata otak-otaknya entah kegeser atau pernah kegesruk semua), tiap malam kami menginap di kamar hotel ber-AC, lengkap dengan complimentary breakfast dan housekeeping department yang bisa dipanggil untuk mengganti seprai yang ketumpahan kuah sop sesekali, sementara pada kebanyakan siang kami berkelana ke pelosok-pelosok jakarta yang jarang dilihat orang pada umumnya. yang minim penerangan, sanitasi, dan pengharum ruangan beraroma buah-buahan yang bisa dibeli di indomaret seharga dua puluh ribu.

terlepas dari hal-hal lainnya, termasuk yang buruk-buruk, bagian terbaik dari pekerjaan ini ternyata adalah orang-orang kami temui selama kurang lebih tiga minggu tersebut. barangkali agak terkutuk ya kalau disebut ‘menertawakan’ orang susah. tapi percayalah, ketika situasi yang ditemui tidak sesuai harapan, ketika dirundung kesulitan dan keterpurukan, menertawakan diri sendiri dan situasi justru kadang menjadi obat yang lumayan mujarab untuk melegakan hati. dan sodara-sodara sebangsa dan setanah air, bukan salah beta kalau akhirnya jadi ingin tertawa ketika berbicara dengan ibu-ibu dan bapak-bapak yang sehari-hari berjuang untuk bertahan hidup di jakarta itu saat mereka memang mengeluarkan pernyataan-pernyataan atau pertanyaan yang susah ditanggapi dengan muka lempeng bin biasa aja. hampir setiap hari, ketika kami kembali ke hotel, ada saja cerita-cerita busuk yang bikin sakit perut karena tertawa yang layak untuk dibagikan kepada teman-teman.

entah harus sedih atau bahagia.

dan pada postingan kali ini, saya akan menceritakan beberapa hal yang entah lucu atau apes yang saya alami selama durasi waktu tersebut. pada beberapa bagian mungkin agak dilebih-lebihkan untuk efek dramatis, tetapi percayalah tidak mengurangi keabsahannya. apalagi sebenarnya cerita-cerita ini ada banyak sekali. tetapi karena memori penulis yang terbatas – jika tidak percaya boleh cek nilai-nilai ujian penulis, maka mungkin yang ditampilkan tidak seberapa.

pertama, entah karena kutukan apa, setelah pada penelitian yang lalu saya mau dijodohkan oleh bapak juragan warung di denpasar, yang dengan muka sok iyeh-nya menunjuk saya sambil bilang ‘kamu pasti jenius!’, dengan anaknya yang kata sang bapak – yang tentu saja bertanggung jawab akan sebagian genetik anaknya tersebut – ganteng, kali ini saya juga ketemuuu aja dengan bapak-ibu khilaf yang mau menjodohkan saya dengan anak-anaknya. diawali dengan bapak-bapak sok iyeh di cilincing yang niat banget ngikutin saya jalan-jalan di gang, dan dengan gak tau malu mengundang saya ke rumahnya untuk ‘ketemu anak saya yang ganteng‘, saya juga ketemu dengan ibu rt di semper barat yang juga dengan sok taunya nuduh saya ‘mbak pasti belum nikah, kan?‘ di tengah-tengah sesi tanya jawab. meskipun tuduhannya benar *ehem*, tentu saja topik yang tiba-tiba bergeser dari ‘sertifikat rumah’ ke pembinaan hubungan keluarga lebih lanjut cukup bikin runyem perasaan. dan tentu saja, lagi-lagi diiringi dengan klaim sepihak dari ibu rt bahwa anaknya adalah lelaki ganteng yang sudah bekerja di perusahaan swasta dan tawaran untuk ‘kenalan’. ketiga kalinya saya hampir mau dijodohkan adalah di penjaringan. detailnya saya malas untuk cerita karena kalau diingat selalu menimbulkan dorongan untuk memuntahkan kembali makan siang kemarin. tapi yang jelas semenjak saat itu saya mulai merefleksikan lagi hidup saya.

kalau kata si chitra, alias tapekong, salah satu rekan saya, mungkin muka saya tipe-tipe yang bisa ‘diajak susah’. entah apa maksud dibalik udang tersebut, yang jelas hati saya menjadi tidak tenang.

tentu saja tawaran untuk kenalan dengan anak-anak bapak-ibu yang dibilang ganteng itu saya tidak ladeni. meskipun ibu rt semper sempat ngasih nomor handphonenya – entah buat apa, saya cuma mau kasih tau sesuatu untuk bapak-bapak dan ibu-ibu yang baik hati tapi bikin senewen ini; bapak, ibu, kalau makannya aja masih RASKIN, gak usah sok-sokan deh ngejodoh-jodohin anak orang! sekian. terima kasih.

walaupun tragedi ini terjadi, saya cukup beruntung karena tidak sampai dikasih batu berlian segala kayak si chitra – yang ada kemungkinan bakal ‘terpanggil’ balik ke cilincing, atau ditta yang hampir diarak preman-preman semper keliling kampung.

ngomong-ngomong soal sanitasi, memang rata-rata kampung kota yang kami kunjungi tidak punya sanitasi yang memadai. bukan hanya wc yang terpisah dari rumah, tapi keadaannya yang agak memprihatinkan dan air bersih yang kurang. nggak usah kaget kalau tiba-tiba ngeliat anak-anak kutil jongkok di pinggir jalan, di atas saluran air yang airnya udah nggak mengalir lagi saking mampetnya, untuk eek alias buang air besar. bahkan suatu hari saya pernah sedang menunggu orang di pinggir gang, dan melihat seorang ibu nemenin anaknya eek dan dengan semangat berkata ‘ayo. udah belom? ayo keluarin! keluarin!‘ sambil megangin pampers. ibu teladan 2014, sodara-sodara.

tapi tentu saja kalau anak-anak kutil yang eek di solokan saya masih bisa nyantai ngeliatnya. tetapi suatu hari, saat ngobrol-ngobrol dengan ibu-ibu yang punya warung sosis di pinggir jalan, si ibu tiba-tiba membuat pengakuan yang luar biasa. “jadi kan saya gak punya wc, dek. sementara wcnya jauh di sini. jadi kalo malem-malem saya kebelet ya udah saya jongkok aja tuh di situ *sambil nunjuk solokan cuma beberapa langkah dari tempat saya duduk persis di pinggir jalan besar*. biarin deh diliat orang juga. anak saya suruh jaga, saya pipis.” dan kemudian saya ditawarin sosis.

sesungguhnya, keadaan ini mungkin cukup umum terjadi di lingkungan tersebut. dan di lubuk hati saya yang terdalam, saya mendoakan semoga ibu ini diberikan BLT yang banyak aja, karena katanya kalau dapat uang BLT yang turunnya sekaligus dia mau buat wc sendiri. AMIN, BU. AMIN!

sesungguhnya, selama ini saya cukup kagum juga dengan diri saya sendiri, karena meskipun seringkali kami harus jalan-jalan sendiri masuk-masuk ke daerah yang saking rapatnya rumah-rumahnya, jalannya harus sambil miring-miring karena gangnya cuma bisa dilewatin model ber-size 0, saya nggak pernah kesasar-kesasar amat (palingan kejedug kaleng kerupuk yang ngegantung di warung karena lupa nunduk saking pendeknya itu rumah). selain itu, saya juga kagum sama mas-mas tukang pos atau kurir jne kalau selalu berhasil menemukan alamat orang di lingkungan tersebut. karena biasanya rumah-rumah tersebut tidak punya nomor, bahkan nama gang juga terkadang tidak jelas. yang bisa diandalkan cuma tetangga-tetangga yang sukur-sukur kenal atau pak/ibu rt (kalau pak/ibu rt-nya gak dibenci warga karena nimbun raskin itu juga) dan berdoa semoga orang yang dituju nggak punya nama yang pasaran – semisal rodiah atau romlah. karena rodiah aja biasanya ada macem-macem. dari rodiah ‘rodiah’ sampe rodiah ‘uuy’. belum lagi ibu-ibu yang suka menciptakan sendiri nama panggungnya. di KTP : NYI ENGKAI, ngakunya : KARTINI. nah loh.

dan gak usah mengandalkan tetangga kalau belahan jiwa sendiri aja lupa nama soulmate-nya, seperti yang dialami temen saya si tapekong. jadi ceritanya si tapekong sedang mencari seorang bapak-bapak bernama terong [bukan nama sebenarnya] di rt xx. melihat ada ibu-ibu sedang duduk, ia pun bertanya dengan ramah dan sopan kepada ibu-ibu tersebut ‘bu, tau yang namanya pak terong?’. setelah berpikir cukup lama, ibu itu pun menjawab,’nggak tau, dek‘. tapekong pun pergi dan bertanya pada ibu-ibu lain tak jauh dari situ. ternyata eh ternyata, ibu-ibu itu bilang bahwa ibu yang sebelumnya pekong tanyai adalah istri si pak terong. pekong pun kesel, dan ketika ditanya lagi, plus ibu-ibu yang barusan, diketahuilah ternyata eh ternyata ibu itu LUPA nama suaminya, saudara-saudara. dan mengutip kata-kata pekong, kalo lupa nama anak sendiri masih wajar lah ya, ini nama laki yang tiap malem bobo-bobo bareng aja lupa! astagfirullah.

nama memang sesuatu yang complicated. terutama di era di mana punya nama yang ‘indonesia’ banget kadang kurang kece karena cepet ketauan asalnya dari tegal atau banyumas, sementara kalau di sinetron kan nama tokohnya biasanya bagus dan kebarat-baratan. maka dari itu di kelurahan-kelurahan paling amit sejakarta juga orang-orangnya berusaha mendoakan agar nasib anak-anaknya bisa lebih baik dari bapak ibunya yang sehari-hari mulung gelas aqua atau cuci gosok dengan memberi nama yang aduhay karena nama adalah doa.

misalnya saja di satu keluarga yang tinggal di rumah kontrakan ukuran 4 x 5 meter dengan lebih dari lima anggota keluarga, ada siti maemunah, rohayat, ani, ules, dan RAQUELLA. itu juga Q dan double L-nya saya simpulkan sendiri karena nggak tega kalau nulisnya harus RAKUELA. ngana pikir?!

hasrat kebarat-baratan ini juga kadang menimbulkan ke-awkward-an, karena dalam salah satu tanya jawab, saya menemukan seorang ibu yang dengan mantep menyebut nama anaknya sebagai ‘david’. tapi ketika saya tulis ‘david’ dia protes. “pake ‘t’, dek. davit.” YAELAH.

tapi setidaknya itu lebih baik dari penemuan rekan lain, si emeli, yang menemukan anak malang yang diberi nama KRISMON oleh bapak ibunya yang baik dan bijaksana. yang tentu saja mengundang hasrat ngorek kuping ketika mendengar pertama kali dan dengan hitungan matematis sederhana dapat dikonfirmasi bahwa anak itu emang lahir tahun 1998.  bila nama adalah doa, sesungguhnya kami BINGUNG doa apa yang bapak ibunya ini ingin panjatkan dengan nama tersebut.

tapi biarlah doa-doa itu terpanjatkan apa adanya. yang menjadi sasaran kekaguman saya selanjutnya adalah ketua-ketua rt yang hafal betul warganya, bahkan juga hafal warga rt tetangganya (‘zamhari di sini ada dua, dek. zamhari A yang jompo. zamhari B yang tukang sampah‘). biasanya ketua rt seperti itu adalah yang udah jadi rt jutaan periode. entah karena memang disukai warga, paling tua di situ, atau karena politik kampung. ketua rt bisa dicintai atau dibenci. biasanya kategori yang kedua itu karena ketua rtnya suka menyalurkan BLT atau RASKIN kepada yang ‘tidak layak‘ atau sekedar disirikin karena yang gak kebagian BLT atau RASKIN adalah warga pendatang ngehe yang kartu keluarga atau KTP jakarta aja gak punya tapi minta ini-itunya ampun deh.

tetapi sekali lagi saya tetap menghargai ketua-ketua rt yang mau menemani kami keliling kampung di siang hari yang panas, menunjukkan warga-warganya yang paling ‘tidak mampu’ menurut standar pak/ibu rt. karena ternyata oh ternyata ada warga ‘tidak mampu’ yang rekening listriknya satu koma dua juta sebulan. entah ngana mafia listrik atau saya yang budek kurang yakin juga deh. meskipun selain dibantuin, kadang saya juga kena ceramah soal BLT dan RASKIN. dengan berapi-api biasanya ketua-ketua rt ini curhat mengenai jatuhnya kedua jenis bantuan tersebut yang kurang tepat sasaran (biasanya karena ‘ulah’ ketua rt sebelumnya) dan dengan semangat membela janda-janda di wilayahnya, terutama janda tua. ditambah pesan supaya saya menyampaikan unek-unek mereka tersebut kepada ‘pemerintah’ yang biasanya saya tanggapi dengan senyum manis ajah karena sejauh ini the closest i’ve been with the government is ketika saya apel tiap pagi dengan kepala BAPPEDA. itu juga di jawa barat.

tapi kalau ada orang lain yang sangat bisa diandalkan bahkan pada beberapa kasus jauh bisa lebih diandalkan dari pak rt, itu adalah IBU-IBU PKK. berbekal semangat ’45, menyandang gelar ‘KADER’, dengan antusias mereka mengantar kami keliling kampung dengan pengetahuan yang luar biasa akan warga-warga di lingkungannya, bahkan marah-marahin mereka juga. kalau warganya kebetulan jompo dan pelupa, mereka yang akan dengan senang hati mengingatkan dengan gayanya yang KADER abis (‘alhamdullilah yah bu di sini mah sudah BERSIH demam berdarah!’). bahkan mungkin mereka lebih hapal merek tivi dan setrika warga-warganya dibandingkan warganya sendiri.

tapi memang sejauh ini, ibu-ibu pkk yang paling sigap yang kami temui adalah ibu-ibu pkk kelurahan jatinegara. konon katanya, di pagi hari kedatangan kami, ibu-ibu kader tersebut semuanya udah berbaris manis rapi jali di depan kantor rw untuk menyambut kami (lengkap dengan baju batik dan rambut yang mungkin udah di-hersprei). oh mama oh papa, kami dikira ROMBONGAN PRESIDEN! yailaaah, mentang-mentang kerjaan kami juga ada di bawah salah satu unit kerja presiden, dikiranya pak beye juga ikutan dateng. untung aja ibu-ibu itu tidak terlampau larut pada kekecewaan karena yang turun dari mobil cuma anak-anak coro yang salah satunya lebih mirip sales kompor gas dan tetep bersedia mengantar kami keliling-keliling.

[bersambung]

drunk talking about love and drama

i like simple.

like, lying on bed on sunday morning doing nothing simple.

by default, i always run from any drama. except the ones directly involving me and, by a great deal, unavoidable. i see drama as a mental draining activity. maybe if you’re a born drama queen things might be different. but there’s a reason why i like being a bystander more.

love and drama are a terrible combination. but shit keeps coming and you can’t avoid it all the time. to that point, i have to admit that it’s true. especially if you’re a fan of ‘bumbu-bumbu percintaan‘ or ‘bumbu rumah tangga‘ shit, probably a religious believer of that too. drama in a low, safe dosage, perhaps makes things exciting. but excessive usage could guarantee you a trip to a mental facility. just think of msg with more lethal effects.

i do believe they need to start making banners like they do for cigarettes : “drama berlebihan dapat menyebabkan serangan jantung, impotensi, dan gangguan kehamilan dan janin.” just for the sake of it, you know.

but the problem is, there are the unnecessary dramas. a lot of them. it could range from ‘kamu kalo ditanya makan di mana jawabannya terserah terseraaah mulu. sekali-sekali tentukan pilihan dong. jadi cowok kok memble!’ to the ‘you freaking insecure bitch. you’re the one sleeping around with everyone, you whore. stop making me the bad guy in this!‘. from the quarreling in the car, to the quarreling in the parking lot – with people watching. jesus. headaches.

don’t get me wrong. i have nothing against love couples and drama. to some extent they even provide entertainments no matter how cruel it may sound. if you have friends who are dating each other who just so happen to be the usual movie-worth-drama couple, be grateful. take some popcorns with you and be grateful.  it’s not everyday you could find a free show with top notch acting worth of golden globe awards. if one of them happens to be a cheating bastard, well, that’s a plus. pick up some lessons and don’t repeat their mistakes.

but there are also the dangerous dramas. it looks like your usual couple dramas, but that’s the danger in it. it looks so ‘normal’ we overlook it all the time. and for this, i’m going to highlight the case of acute on and off couples.

we have couples like this all around us. one day they’re fine, lovey-dovey, sickeningly sweet, the next day they’re at each other’s throat, ready to drag one another to the nearest police station. they claim to be so in love with each other, but most of the time you could see that they’re basically the most insecure couples you’ve ever seen. even one of my best friends was in a relationship like this once, but it was in junior high school it hardly counts. but let me be freaking honest, this kind of relationship should just stay in high school where it belongs.

before we continue, there’s no academic research i’ve conducted on this subject. the closest method i used was qualitative which is talking for three or four hours non stop with a few different people, ranging from an eighteen years old kid studying business but with a passion for psychology, a genius mate working in a food industry, to a veteran lesbian that’s been through quite everything, which is very random but i believe in randomness and a nice result we can yield from it. we’re biased. and biased leave us be.

you’ve been warned.

first of all, i don’t get on and off couples. i don’t want to elaborate on this. i just don’t get them and somehow i think i will never do.

how can you keep hurting each other yet saying that you love each other?

sometimes their defense is ‘well have you been really really in love before?‘ and when i say ‘no‘ they go all smug and say ‘you don’t understand then‘. of course i don’t, it’s crazy.

i can’t say i’ve ever been really in love with someone. but i definitely have loved someone – if that’s what people consider love, romantically, but it doesn’t look like this. i can’t imagine being in a relationship like this. i don’t claim to be a relationship expert, but i asked a veteran in relationships, and she said she can’t imagine being in a relationship like that too. so it’s not about being really really in love then. so what is it?

we can theorize about it all night long and might not get a satisfying answer other than tsk they’re just a bunch of masochists leave them alone. we can even blame the stories about those couples in books or movies. the sexy – i freaking hate you – couples who practically try to drill a bullet through each other’s skull but then have a mind blowing post-fighting sex in the janitor’s closet. somehow those stories gave us the impression that hate could translate into love, and tortures are acceptable as long as you do it in the name of love. put into this context, even over jealousy and extreme insecurity could seem adorable and desirable. except that they aren’t.

it’s a sick way of loving.

one of my friends said; it is dependence.

in a discussion over some drinks another friend said that it could be that one of them are scared. they love each other – yes, they do. but somehow they got into this unhealthy relationship. they want to hold on to it, because they are afraid that once they leave, they won’t find someone they can love as much as this one person. so they stay in the cycle. they love, and they hate, they love again. to the point it gets so tiring. but they still think it’s worth it because their lover is supposed to be the ultimate person.the one. the incomparable. but are they?

i said; it’s not love. it might be close to love, but it’s not love. it resembles love but it isn’t. people delude themselves into it they could stay in the relationship for a long, long time, believing it is love. but maybe it isn’t.

fighting, quarreling, bickering, even slamming doors are normal in a relationship. it’s part of the delicious drama you’re craving one way or another. but making it on and off sounds too childish for me. and sometimes beware that it could be abusive. and whoever you are, wherever you are, abusive relationship is a no-no.

abuse is not only physical. there are also verbal, even psychological abuse. but sadly we often overlook these ones. the next time your couple friends are fighting, listen to what they say. you will know the difference. and there’s a chance you might wonder how on earth someone could stay in this abusive relationship.

some said that one day they will get tired and realize how sick it is. then it will stop. maybe it will, maybe it won’t. and you can’t question their love to each other because when you do in front of them they will say you don’t understand.

experience talking – it could take years for someone to finally realize what’s happening to them. there will be a time they take off their rose tinted glasses and see things for what they are. not what they want them to be.

and please cut the crap.

it’s not that i don’t believe in love. i’m just saying that delicious, healthy kind of love is possible. i have seen those couples. don’t make anymore excuse to stay in an abusive relationship.

but who am i to say this kind of things right?

to be honest, love is unfathomable to me, and as someone who has been called heartless by her mother, chance is that i won’t understand it at all.

but back to the drama thingy, one of the best advice i’ve ever received, and i’m going to quote it here; “you see trouble, you run.”

good luck.

to all the dogs i’ve loved before

i was supposed to do my essays that night. i took a nap in the afternoon, thinking that i would do the shit in the evening, but then as i peeled my eyes open, i received a message from a friend.

‘wanna meet my dog?’

my first reaction?

fuck!

yes!

there were like lots of shit i needed to finish by midnight, because i didn’t want to be that idiot who rushed to submit the paper the next day, but of course like a genius i was i decided that i would forget all that for awhile and just go out.

nothing was finished by midnight, obviously. and by the time i arrived at my door, i knew i was going to be that idiot the next morning.

perfect.

but i mean, it was an offer i couldn’t resist. i love dogs. like really, really love dogs. every time a dog passes me by i always smile at them and feel hurt whenever they don’t smile back. it’s painful when a dog ignores you, man. bitches.

if you want to ask a girl out, i’m telling you; ‘wanna meet my dog?’ is pretty damn good too.

well, if she’s a girl like me. ‘like me’ is hard to define i know but like the old men said – you know it when you see it.

i held the mongrel almost the whole evening. she’s a quiet dog, but adorable nonetheless. she sat with me in the passenger seat while we drove around mindlessly and i stared at her as if she was a precious gem. i kept kissing and sniffing her, stroking her fur, and to my endless joy she reciprocated and kissed me back.

i smelled like a dog’s saliva that night.

but still, i got a bit heartbroken when my friend dropped me off later.

well, i grew up with a dog. my first memory of her was when i was about six when my cousin brought her home. she’s a mini pinscher, an agile toy breed. She barked a lot and i cowered behind my cousin’s legs because she was almost as big as i was at that time. it wasn’t a pleasant meeting and totally not love at the first sight.

but like the true tale of romance, hate grew to love, and yes we fell in love.

or i assumed she did.

ever since i was little i’ve had that knack of being an anti social so she was my only friend back then. i spent roughly more than two hours talking to her every day. we understood each other. probably more than any of my human friends ever had.

she even got my first kiss. yay.

as i grew up, i found dogs in general adorable. they’re nice pets and good to play with. i don’t understand cats. they’re lazy bishes. and it hurts when they lick you. i’ve never wanted to kiss a cat. ew.

i’m happy whenever i play with a dog, no matter how much they harass me sometimes. like when i was in junior high school, a giant golden retriever pounced me and i fell flat on the butt. or when my lovely min pin bit my pinky for like half an hour and for a brief moment i thought i was going to be amputated.

but love hurts and i understand that.

my dog died when i was in high school. she’s old and had been single for all of her life. what a way to die. she died an accomplished dog though. she broke some vases and ruined some of our plants. she also barked at the slightest sight of a stranger, making her a good watch dog – or maybe she’s just bored.

i remember whenever i came home she would bark, even when i hadn’t showed up at the door yet. they said she could smell me from the distance. apparently i have a distinct smell. it must be those fried onions i liked so much.

i was sad when she passed away. i had her pictures in my old phone and shit got lost so i lost everything.

but they say first love never went away so i think i’ll never forget her. we don’t have any dog currently, but i’m planning to adopt one someday. especially when i don’t want to die a cat lady. i want to die a dog lady.

hopefully a charming one at that.

ways to make your child an alcoholic

like a true indonesian i am, my favorite beer is bintang. believe me no one hired me to be a buzzer. this is how i express my effort to promote local products before someone accuses me of being a liberal-minded, west-polluted, mcdonalds-lover ass. or better – a cia spy. god, please. (and before you sue me, yes, it’s not that local actually but what the hell okay? it spells b-i-n-t-a-n-g it’s what matters to me)

i drink socially. which is a lie because i posses no social life whatsoever. but it sounds less alcoholic than the usual i drink statement so let me delude myself and say i’m a social drinker. for any related definition, consult google.

but obviously, i’d call myself a cheap drinker.

i have to make it clear. i only drink beers. the most common and casual drink you can find in indonesia. though i normally won’t reject a nice bottle of cheap wine, a glass of rum and coke, bailey’s, xo, vodka and redbull, or anything strong enough to knock you out within seconds. honestly, i would also say that i’m an obsessed pu tao chee ciew drinker, but shit is so rare to get nowadays i’m depressed sometimes. where can i file my complaint to?

my first encounter with beers happened when i was six or seven years old. it was during new year’s eve and i and some cousins were playing monopoly. one thing led to another, someone opened a bottle of beer and i begged for a sip.

i think i whined long and hard enough that they poured me like less than half a glass of beer mixed with water.

it was so bitter i spat it out. but after a while, it was bearable and soon i played monopoly like a mafia boss. since then, i always got my glass of beer with water on every family gathering. until i was thirteen and big enough to handle my alcohol – or so they say.

if there’s a way to turn your child into a potential alcoholic adult, there’s no better way than this.

my family is a typical one. which means on every occasion, there’s one out of only three types of beers served. either bintang, anker, or guiness. i like the first and second. the last, not really. and when i grew up i found out why.

but as time goes by, i stick with bintang. not because it’s necessarily better than anker. but because only the elders in my family really drink anker and somehow i associate the brand with white hair, beer belly, and mustache. not the best image you want to keep in mind. especially if your goal is to be the most-instagrammed-obnoxious-hipster of 20xx.

later in life, i venture to other territories and occasionally try other types and brands of beers. if you don’t already know this, yes, there are different types of beers. just think of soto. they’re not really related and that was an awful analogy but at least i can say i tried. i myself prefer to recognize them by brands rather than pilsner, lager, or any other damned technicalities. when it comes to beers, i can only say : either wonderful, nice, drinkable, meh, or satan made this.

most beers i’ve tried fall into nice, drinkable, or meh. except corona. satan obviously made that. my advice, stay as far as possible from it, or keep a lime or two.

unfortunately, it’s getting harder to buy a bottle of beer in bandung nowadays. they used to sell them in supermarkets and you could easily snatch them after browsing for sanitary pads. but i also noticed that more bars, lounges, and beer gardens are flourishing here. which isn’t any much of a help for me because i find it to be such a hassle to go to those place to enjoy a nice chilled bottle of my favorite bintang. while of course i can drink them after a meal in a decent cafe or restaurant which costs me typically more than 20k for a tiny, tiny bottle. what a sorcery.

there’s also another type of alcohol i used to enjoy very much. it was my grandmother’s homemade rice wine. she used to make it for medicinal purpose and cooking and i remember having some when i was sick. it was sweet and instantly warmed me inside. i liked it very much i used to have a sip on rainy, cold days.

thankfully, so far, i’m not an alcoholic. yet. i can hardly say that i’m a drinker myself. like 5% b/v. please. forget the rum and coke. or the whisky. or…. no. irish coffee doesn’t count.

i’d also like to think myself as a considerate, responsible drinker. i don’t do dui – rule out the fact that i don’t drive – and i don’t want to cause trouble because i tend to be funnier when buzzed. i also hate hangovers. the last time i had it i wanted to split my head open and slit the girl next door’s throat because she blasted girls’ generation’s i got a boy the whole fucking day.

i have to take pride that i’ve never caused any problem drunk. maybe except on some occasions when i thought i was funny and i wasn’t, or when i sneaked some alcohol into a school study trip in high school and perhaps some people wondered why i was so fucking enthusiastic that day. i had it in my water bottle which i carried everywhere and when people asked i said it’s herbal drink. high school, peeps. oh. let it gooo.

the golden rule is; when you think you’re very hilarious spitting some racist jokes to your friends – you’ve had enough.  say thank you and close the tab. and drink lots of water. fresh water. not coke. you’re bound to get diabetes.

at the end of the day, semua yang berlebihan itu tidak baik. someone told me that. just someone. your ex boyfriend is someone. your driver is someone. the girl with braces you secretly had a crush on in high school is someone.

but as an uncle told me on a new year’s celebration, this, pointing at a bottle of soda, will make you stupid. but this, pointing at a bottle of xo, will make you smart.

i hold it dear to my heart.